Mau Belanja di Kota Medan? Jangan Coba-coba Pergi ke Pasar!
“Ngapain? Mau bunuh diri kau?”
“Mau belanja, Mak. Kali aja dapat jodoh.”
“Ke pajaklah, ngapain kau ke pasar!”
Gitulah orang Medan. Pasar di sini berarti jalan raya,
sedangkan tempat berbelanja disebutnya pajak. Jangan tanya asal usulnya gimana,
soalnya walikota kami pun belum tentu tau, hihihi.
Ngomong-ngomong soal pasar, apa kabar ya, pasar tradisional
di Indonesia?
Pasar tradisional adalah salah satu kunci dalam kehidupan
perkotaan. Hanya saja, banyak di antara kita yang mengabaikan fakta tersebut. Ruang
publik perkotaan satu ini telah hidup sebagai media jual-beli. Bukan cuma
sebatas produk dan jasa yang diperjualbelikan, tapi juga informasi dan
pengetahuan.
Hakikinya, pasar memiliki peran penting bagi masyarakat
kota. Tapi, sekarang peranan pasar tradisional kian menurun. Ditinjau dari
fisiknya, tentu kita kerap menemui pasar tradisional yang bertambah kumuh,
ditambah baunya yang tak sedap. Dilihat dari segi ekonomi, makin rame tuh,
orang yang males belanja ke pasar. Mereka lebih prefer beli sayur di pasar modern ataupun supermarket dan hunting baju di mal. Kalo ditilik dari
hukum sebab-akibat, gue juga masih bingung sih, duluan mana antara:
maraknya tempat
perbelanjaan modern atau memburuknya kondisi pasar tradisional?
Ketakutan gue adalah kelak pasar-pasar tradisional akan
diingat sebatas nilai historisnya. Sementara tempat beserta aktivitasnya, udah
nggak lagi ada. Semua berganti dengan ruko warna-warni. Memang sih, berbagai
kebijakan pemerintah telah dikeluarkan untuk melindungi pasar tradisional dari
penetrasi pasar modern. Peremajaan pun dilakukan agar meningkatkan daya saing
pasar tradisional dalam kompetisi bisnis modern. Tapi, apa itu aja cukup?
Nah, gara-gara LBI 2016 ngasih tema tentang pasar
tradisional di kota masing-masing, gue pun bergegas menghubungi Yuha yang juga
ikut LBI. Selain itu, gue juga coba mengulik-ulik pasar tradisional Kota Medan
dan sejarahnya dari Kak Rizky, penggagas komunitas Medan Heritage. Eh, doi
malah ngajakin gue dan Yuha buat keliling-keliling beberapa pasar bersejarah di
Kota Medan.
Kak Rizky: “Kalian ntah rombongan ke berapa yang Kakak ajak
ke pasar.”
Yuha: “Kami bukan rombongan.”
Kak Rizky: “Lebih dari satu disebut rombongan.”
Yuha: “Tapi, kalo berdua itu pasangan.”
Lo harus ketawa, harus.
Pasar pertama yang kami telusuri adalah Pajak Hindu, di
Jalan Hindu, tepat di seberang Lembaga Bantuan Hukum. Dulunya, berbagai etnis
berdagang di sini. Tapi, etnis Tionghoa semakin memadati daerah sekitar,
sehingga sekarang kebanyakan yang berdagang adalah mereka. Nggak heran deh,
kalo kini banyak yang menjajakan daging babi di Pajak Hindu.
Meskipun kiosnya terhitung hanya puluhan, banyak penduduk
yang berbelanja kemari. Karena memang, ratusan tahun lalu pasar tersebut
dibangun untuk memenuhi kebutuhan komoditas sehari-hari masyarakat kompleks
setempat.
Sayangnya, kami dateng di siang hari. Kios-kiosnya udah pada
tutup. Pasar ini beroperasi enam jam doang, dari pukul 6 pagi sampai 11 siang.
Singkat, ya? Beberapa kali gue lihat, akun kuliner hits Kota Medan memposting kedai kuliner khas Tionghoa di sini. Ada
rasa ingin mencari dan mencoba, tapi ya takut. Halal atau nggak, ya? Hahahaha.
Sebelum masuk ke Jalan Hindu, sebenarnya ada sebuah gedung tua menarik bernama Waren
Huis. Berdiri sejak tahun 1919, dulunya sih, gedung ini adalah supermarket
pertama di Kota Medan. Sesuai artinya, di mana dalam bahasa Belanda, warenhuis bermakna department store, general shop, maupun warehouse. Ini adalah penanda kalo sistem perdagangan Kota Medan
udah maju dari dulu. Sayangnya, bangunan Gedung Waren Huis kini tampak buruk,
apalagi setelah kebakaran di tahun 2013 lalu. Namun, gedung ini tetap
dipergunakan sebagai Kantor AMPI cabang Medan Barat.
Bergeser sedikit dari Pajak Hindu, gue diajak melihat situs
sejarah Kota Medan yaitu Masjid Lama Gang Bengkok beserta madrasahnya. Masjid
tersebut dibangun tahun 1890 oleh saudagar kaya nan terkenal asal Tiongkok yang
bernama Tjong A Fie.
Berdiri di atas tanah yang diwakafkan Datuk Haji Muhammad Ali, arsitektur bangunan masjid ini bergaya Melayu, Turki, dan Tiongkok. Empat pilar utama yang ada di dalam masjid, menyerupai bentuk pilar yang ada di rumah kediaman Tjong A Fie. Pengurus dan nazir masjid menempati rumah yang tepat adanya di belakang masjid ini. Rumah-rumah mereka masih kental dengan gaya Eropa.
Berdiri di atas tanah yang diwakafkan Datuk Haji Muhammad Ali, arsitektur bangunan masjid ini bergaya Melayu, Turki, dan Tiongkok. Empat pilar utama yang ada di dalam masjid, menyerupai bentuk pilar yang ada di rumah kediaman Tjong A Fie. Pengurus dan nazir masjid menempati rumah yang tepat adanya di belakang masjid ini. Rumah-rumah mereka masih kental dengan gaya Eropa.
Oh ya, kegiatan belajar mengajar di madrasah ini masih terus
berjalan, lho!
Setelah itu, kami pun cusss ke Pajak Ikan Lama yang masih
dekat dari Pajak Hindu. Memang, di masanya, penjual bermacam-macam ikanlah yang
berjaya di sini. Kemudian, seiring berkembangnya daerah ini dan bertambahnya
segala etnis, Pajak Ikan Lama pun justru dikenal sebagai pasar tekstil. Nggak
bisa dipungkiri, Pajak Ikan Lama termasuk sebagai pasar paling ramai di Kota
Medan. Wisatawan lokal maupun asing sering bertandang kemari. Sekarang, pasar modern
pun udah berdiri di sini.
Selanjutnya ada Pusat Pasar atau lebih dikenal sebagai Pajak Sentral yang berdampingan mesra dengan Medan Mall. Pasar yang selesai dibangun tahun 1932 ini, memang pusatnya segala hal yang dijual secara grosiran. Mau baju, ada. Mau sayur, ada. Mau daging, ada. Kalo jodoh sih, nggak mungkin dijual lusinan. #lah
Kalo diperhatiin lagi, pedagang di sini ada kategorisasinya
masing-masing. Pedagang sayur kebanyakan orang Batak dan Karo, pedagang ikan
asin adalah etnis Tionghoa, pedagang bumbu-bumbu dan santan adalah India,
sedangkan pedagang souvenir dan pakaian kebanyakan Minang-Melayu. Meskipun, ya
kalo souvenirnya ulos, yang jual tetep Batak-lah. Medan benar-benar Kota Madani, yes?
“Kok, yang jual ikan asin Tionghoa semua?” Itulah yang gue
lontarkan tatkala tergelitik ngelihat pedagang-pedagang ikan asin.
Kak Rizky bilang, itu disebabkan modal yang dibutuhkan cukup
besar, sehingga nggak semua kalangan mampu untuk mengelolanya. Hmmm, nggak
heran deh, di segala aspek, merekalah penguasa pasar.
Gedung ini sempat terbakar, membuat pedagangnya berjualan di
pinggir jalan. Eh, pas udah dibangun lagi, tetep aja ada yang kekeuh jualan di
pinggir jalan. Bikin apek, tapi ya mau gimana lagi.
Pas mau balik ke parkiran, kami pun mampir ke salah satu
gerai yang menjual souvenir khas Batak. Gue beli tali sor dan Kak Rizky beli
ikat kepala khas Karo, buat nampil katanya.
Sebenarnya, masih ada satu lagi pasar tradisional di Kota
Medan yang punya sejarah unik, namanya Pajak Bundar atau dikenal sebagai Pajak
Petisah. Berhubung waktu udah petang dan masing-masing masih punya kegiatan
lagi, perjalanan keliling pasar pun harus berakhir di sini.
Merangkum dari pengalaman kali ini, pasar tradisional tetap
menarik karena kekhasannya dalam relasi sosial. Aktivitas tawar menawar masih
jadi kegiatan asyik khususnya bagi ibu-ibu, apalagi dengan keadaan ekonomi
menengah ke bawah. Tapi, buat yang males nawar dan berlagak borjuis, jangan
coba deh, ke Pajak Sentral. Mau beli gantungan baju dikasih harga 50 ribu, lo
tawar 15 ribu pun bisa. Afgan nggak, tuh?
Gue sendiri emang paling doyan ke pasar, meskipun pasar
terdekat dari rumah termasuk pasar modern. Khususnya dagangan zona basah kayak
ikan dan daging, konon jauh lebih fresh yang
ada di pasar ketimbang supermarket. Apalagi kan, yang kayak gitu kalo di
supermarket berasa diintai sama shop
assistant-nya. Dan gue pun akan balik ngasi tatapan yang tersirat makna, lo pikir gue maling ayam?!
Beda sama di pasar. Beli sayur, ya bisa self-service. Beli ikan, boleh milih sendiri, mau yang mancung atau
yang pesek. Anggeplah gue cewek ribet dan emang iya, tapi budaya seperti inilah
yang bisa mempertahankan keberadaan pasar tradisional. Abis itu, terbentuklah
langganan. Emangnya, di supermarket ada langganan? Lo beli baru lima menit yang
lalu, terus balik lagi juga mungkin mbaknya udah lupa. Andai, semudah itu
melupakanmu.... #baper
Diferensiasi mendasar pasar tradisional dan pasar modern
yang gue lihat adalah dari segi spasial. Rata-rata, pasar modern yang makin
rapi ini berbentuk baris per baris, menutup koneksi antarpedagang. Beda lho,
sama pasar tradisional. Meski cenderung semrawut dan tak keruan, justru mereka
akrab banget karena lokasinya yang saling umplek-umplekan.
Lagi-lagi soal relasi sosial. Ckck.
“Nang, minta dulu kresekmu. Abis punyaku.”
“Ah, asik-asik minta aja puuuun. Bayarlah!”
“Nanti kuganti sama kresek baru!”
Itu adalah contoh percakapan nyata antarpedagang yang masih
sering gue denger di pasar tradisional Kota Medan.
Ketika melihat Pajak Sentral, point of interest gue adalah pedagang menumpuk di sisi terdekat
dengan luar pasar. Di situ jual buah, sebelahnya jual sandal, tau-tau
sebelahnya jual ikan gembung rebus. Faktor higienis adalah masalah utama. Makin
hari, makin banyak calon pembeli yang enggan menapaki hingga ke ujung pasar
untuk melengkapi semua kebutuhannya. Jadilah, para pedagang berlomba-lomba
membuka gerai di satu titik.
Meski begitu, gue berterima kasih kepada engkau wahai-wahai
pedagang yang mau berdagang di dalam secara teratur. Atau mungkin karena
terpaksa? Entahlah. Seandainya aja Pajak Sentral ini bisa lebih diatur, zona
basah dan zona kering benar-benar terpisah. Sehingga, kalo mau beli jepit
rambut misalnya, nggak perlu ngelewatin yang bau-bau itu, lho. Kan, itu juga
yang sering bikin orang nggak mood belanja.
Parkir, musala, toilet umum, pengolahan limbah padat dan
cair, ruang hijau, dan sistem pengelolaan pasar tampaknya juga jadi krusial
untuk dipikirkan. Semoga aja makin banyak perusahaan yang memugar pasar-pasar
trasidional di Kota Medan, kayak Jamsostek yang udah mengindahkan Pajak Hindu.
Satu lagi yang bikin orang ogah ke pasar adalah COPEEEEET!
Meski tindak kejahatan mungkin terjadi di mana aja, pasar-pasar di Kota Medan
rawan sama copet.
Mengusung isu pasar Kota Medan sebagai ruang publik dan
wisata kota sebenarnya udah dikoar-koarkan Kak Rizky dan komunitasnya, Medan
Heritage. Kak Rizky dan tim pun acap kali mempostingnya di website dan blog. Bahkan, doi sering lho, diliput media berkat
kecintaannya dengan budaya Kota Medan. Tapi, usaha mereka nggak akan bikin
pasar tradisional bertahan tanpa kepedulian kita sebagai warganya, kebijakan
pemerintahan, maupun pihak-pihak yang berkuasa. Sifat antisipatif dan nggak mau
repot, justru mematikan usaha pedagang-pedagang kecil. Okelah pasar-pasar itu
banyak berubah dari yang sebelumnya. Beberapa bagian pun telah hilang. Dan
kelak, apakah pasar-pasar tersebut harus punah, lalu hanya menjadi cerita bagi
anak cucu kita?
28 comments
Aahh sumpah.
ReplyDeleteCakep tulisan mu dek.
Packaging info heritage mu, dikemas dgn sangat choozy utk pembaca cerna.
Good job cantik ;)
Thanks apresiasinya.
Moga aja makin banyak anak muda yg posting info beginian di Medan.
Amiiiinnnn...
aemoga pasar ga jadi dongeng anak cuci
ReplyDelete@guru5seni8
Suka dengan arsitektur gedungnya
ReplyDeleteLimbah dan Pedagang pasar memang sudah identik, mau bagaimana lagi?
@amma_chemist
Di sini yang penjualnya Tionghoa malah jual tembakau buat rokok :D
ReplyDelete@umimarfa
pajak hindu kalau habis jualan rapi banget. itu buah yang ijo namanya apa? ngejreng banget warnanya. menggiurkan. lagi kurang fit aja postingannya keren apalagi kalau fit ya? :)
ReplyDelete@gemaulani
Bahasanya pajak.
ReplyDeletedapet jodohnya?
ReplyDeletekatanya pajak ikan tapi gak ada yang jualan ikan
Kalau bayar pajak ke mana dong? Masa ke kantor pajak? -_-
ReplyDeleteBelanja sambil dilihatin mbak-mbak dan mas-mas sales-nya memang bikin gerah ya.. Beda sama di pasar mau milih kayak gimana juga si penjual mangga aja.. :)
ReplyDeletePas pertama menginjak medan memang bingung tentang pajak dan pasar hahaha... saya jarang ke pasar tradisional, kalau ke sana, biasanya dianterin ibu. Ibu yang nawar, saya yang bayar heheeh..
ReplyDeleteNgikik deh baca ini. Selain pedagangnya suka tuker-tukeran, ada juga kejadian belanja pas penjualnya ga ada di tempat. Trus dilayanin sama penjual sebelahnya. Cuma ada di pasar tradisional.
ReplyDeleteWuaallahh..lengkap euy..penjabarannya
ReplyDeleteOh, ilmu baru klo ke medan, tempat jual beli disebut pajak kalau jalan raya pasar. :)
Info grafisnya keren mba (cantik)
Fokus banget bacanya, enak. Mengalir. Padahal bikinnya kepepet waktu yak? wkwk
ReplyDeletebeda sama punyaku, kepepet waktu keliatan banget acak-acakan. Hahah
itu yang ijo-ijo sih apa? jambu ya? yang di pajak Ikan lama itu...
@onlykharisma
Hehehe seru juga pajak tradisional di medan. Apalagi ada jodoh lusinan wkwkwk
ReplyDeleteHati2 sama copet, pencopet hati 😄😄😄
@Adibriza
halo mba, salam kenal, ini tulisannya cakep bener. Dan memang ya, pasar di Medan apalagi yg tumpah luber ke jalan, itu luar biada mengundang syahwat belanja. saya baru dua tahun di medan setelah lama di batam. kalau di batam tiap ke pasar selalu pusing, kl di medan tiap ke pasar selalu bersemangat. ga peduli becek dan bau, hati tetap senaaang hehehe.
ReplyDeleteSeru-seru! Kalo disini etnis tionghoa jualannya emas :p
ReplyDelete@khoirinaannisa
Kalo aku paling males kalo diajak ke pajak sentral... huuuftt... padetnya gak nahan, apalagi kalo menjelang Lebaran :D.
ReplyDeleteOke, nanti nanti kalau main ke Medan pergi ke pasarnya dicancel, ganti ke Pajak, hahaa
ReplyDeletewahh pajak ya namanya... tulisannya mbak fanny selalu kece deh
ReplyDeletegambar dan infonya lengkap dan asyik,,,
seneng bacanya
okehh Fun..bakal aku inget inget kosakata ini hahah
ReplyDeletewahh,, banyak anak buahnya kang mus ya disana
ReplyDelete@aleksdejavu
baca postingan ini kemudian teringat sudah lama sekali enggak kepasar tradisional, huhu :(
ReplyDeleteBaca tentang pajak sekalian belajar sejarah, keren!!
ReplyDeleteHueee iya sih copet itu yang paling diseremin emak-emak ya kalo ke pasar. Eh pajak. Ah tapi mah kalo udah ngeliat belanjaan jug abiasanya sih lupa sendiri. :))
ReplyDeletesukaaa sama artikelnya :), salam kenal ya ...
ReplyDeletesekarang udah dibalik medan fun? wah lama ga ngobrol ngobrol :v
ReplyDeleteBtw, itu yg must have item di Pajak Ikan Lama, kue kah? #salahfokuspengaruhlapar :p
ReplyDeleteWiiisshh bener2 Afgan yaahh, harga 50rb ditawar suk2 pun dikasih, ckckckk..
tulisannya enak dibacaaa,,,, salamkenal
ReplyDelete